Perubahan Kurikulum
MAKALAH TELAAH KURIKULUM BK
(Rekonstruksi Kurikulum)
Makalah
ini disusun guna memenuhi
Tugas
Individu Mata Kuliah Telaah Kurikulum BK
Dosen
Pengampu : Dr. Suriswo
Disusun
Oleh :
Rosalina.
Subekti
1115500072
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN
KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2017
Kata Pengantar
Alhamdulillahirobbilalamin,
segala puji bagi Allah SWT atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas makalah dengan tema “Rekontruksi
Kurikulum” sesuai dengan harapan.
Dalam penyusunan
makalah penyusun mendapatkan berbagai sumber bantuan darimana saja. Penyusun
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Suriswo selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik, dan rekan-rekan mahasiswa Universitas Pancasakti Tegal yang
selalu berdoa dan memberikan motivasi kepada penyusun.
Penyusun menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar malalah ini dapat lebih baik
lagi. Akhir kata penyusun berharap makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan
kepada para pembaca.
Tegal, 25
Maret 2017
Penyusun
ABSTRAK
Rekonstruksi
Kurikulum
Rekonstruksi
kurikulum atau biasa diperjelas dengan perubahan kurikulum dimana maksud dari
perubahan kurikulum yang terjadi perubahan yaitu dasar-dasarnya, baik mengenai
tujuan maupun alat-alat atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah
kurikulum sama halnya mengubah manusia atau personal pendidikan seperti guru,
guru BK, pembina pendidikan dan mereka-mereka yang mengasuh pendidikan. Oleh
sebab itu perubahan kurikulum dianggap sebagai perubahan sosial (social
change). Perubahan kurikulum dapat pula di katakan pembaruan atau inovasi
kurikulum, di maksudkan untuk mencapai perbaikan sekalipun perubahan tersebut
tidak dengan sendirinya membawa perbaikan. Perbaikan yang diperoleh mungkin
membawa hasil sampingan yang kurang baik menurut penilaian pihak tertentu.
Kurikulum dapat diubah apabila ketentuan yang telah ditetapkan dari pihak
pimpinan, karena dalam aturan indonesia menganut model administratif dimana
seluruh anggota harus mengikuti aturan yang di tetapkan pemimpin.
Dalam pembuatan
makalah ini bertujuan untuk memperjelas bahwa pada dasarnya perubahan kurikulum
harus mengikuti aturan yang berlaku bukan hanya sekedar merubah namun harus
mengertia atas dasar apa kurikulum itu harus diubah, selain itu tenaga pendidik
semakin berkembangnya zaman mereka harus mampu mengikuti sebagaimana aturan
dari kurikulum yang sudah ditetapkan.
Kata
Kunci : Rekontruksi Kurikulum, Perubahan Kurikulum
Daftar Isi
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan berintikan interaksi
antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik
menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat berlangsung
dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Dalam lingkungan
keluarga, interaksi pendidikan terjadi antara orang tua sebagai pendidik dan
anak sebagai peserta didik. Interaksi ini berjalan tanpa rencana tertulis.
Orang tua sering tidak mempunyai rencana yang jelas dan rinci ke mana anaknya
akan di arahkan, dengan cara apa mereka akan di didik, dan apa isi
pendidikannya. Orang tua umumnya memiliki harapan tertentu pada anaknya, semoga
ia menjadi anak yang sholeh , sehat pandai dan sebagainya. Tetapi bagaimana
secara detail rinciannya sifat-sifat tersebut tercapai mereka sebagai orang tua
tidak memahaminya.
Orang tua
sebagai pendidik juga tidak di persiapna secara formal. Mereka menjadi
pendidikan atas dasar status yang mereka jalani yaitu sebagai ayah dan ibu,
meskipun terkadang mereka belum siap untuk melaksanakan tugas tersebut. Karena
sifat-sifatnya yang tidak formal, tidak memiliki rancangan yang konkret dan
adakalanya juga tidak di sadari, maka pendidikan dalam lingkungan keluarga di
sebut pendidikan informal. Pendidikan tersebut tidak memiliki kurikulum formal
dan tertulis.
Pendidikan dalam
lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah
telah di persiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Sebagai guru
mereka telah mempelajari ilmu, keterampilan, dan seni sebagai guru. Mereka juga
telah dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik yang matang. Di
sekolah guru melakukan interaksi pendidikan secara berencana dan sadar. Dalam
lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, yang bersifat tertulis.
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan.
Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya
tujuan-tujuan pendidikan. Adanya perubahan kurikulum sering terjadi di era
pendidikan, hal ini merupakan suatu reaksi terhadap kurikulum yang ada. Dalam
pembaharuan kurikulum hendaknya sedapat-sedapatnya di manfaatkan dan di kembangkan
dari kurikulum lainnya.
Akhirnya kurikulum dapat dipandang
sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita,
nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan anak didiknya. Kurikulum ini sangat
erat hubungannya dengan kepribadian guru. Kurikulum yang formal, mengubah
pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas daripada kurikulum yang riil. Kurikulum
yang riil, bukan sekadar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami
anak dalam kelas, ruang olah raga, warung sekolah, tempat bermain, karyawisata,
dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak
sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih
luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel.
Perubahan kurikulum di sini berarti mengubah semua yang terlibat di dalamnya,
yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, penilik sekolah, juga orang tua dan
masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini
dikatakan bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial, curriculum change
is social change.
B.
Rumusan Masalah
Apa alasannya kurikulum
itu di ubah?
C.
Tujuan
Mengetahui alasan di
ubahnya suatu kurikulum
BAB II
ISI/PEMBAHASAN
A.
Definisi Kurikulum
Kurikulum adalah perangkat mata
pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang
berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam
satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini
disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam
penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Kurikulum merupakan sarana
pencapaian tujuan, jika tujuan kurikuler berubah, maka kurikulum berubah pula.
Perubahan dimaksud mungkin mengenai materinya, orientasinya, pendekatannya,
ataupun metodenya.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu”.
Istilah kurikulum dikenal
sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang dari satu abad yang
lampau. Istilah ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru
timbul untuk pertama kalinya dalam kamusnya tahun 1856. Yaitu:
A race course ; a place for running
; a chariot.
A courase in general ; applied
particulary to the course of study in a university.
Jadi “kurikulum” adalah
jarak yang harus di tempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari
awal sampai akhir. “kurikulum” juga berarti “chariot” semacam kereta pacu pada
zaman dahulu, yakni suatu alat yang membawa seseorang dari “start” sampai
“finish”. Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular
sejak tahun lima puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan
di America serikat. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran”
pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran.
Dalam teori praktik, pengertian
kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan. Para ahli-ahli pendidikan kebanyakan
memberi arti atau istilah yang lebih luas. Perubahan ini terjadi karena
ketidakpuasan dengan hasil pendidikan di sekolah dan ingin selalu memperbaiki.
Selain itu yang mempengaruhi perubahan dari makna atau arti kurikulum adalah
perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat mengubah perkembangan
dan kebutuhan masyarakat.
Disamping itu banyak timbul
pendapat-pendapat baru, tentang hakikat dan perkembangan anak, cara belajar,
tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan yang memaksa diadakannya perubahan
dalam kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah proses yang tak hentinya, yang
harus dilakukan secara kontinu. Namun, mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan
yang mudah, praktek pendidikan disekolah senantiasa jauh ketinggalan bila
dibandingkan dengan teori kurikulum. Bukan suatu yang aneh. Bila suatu teori
kurikulum baru menjadi kenyataan setelah 50 sampai 75 tahun kemudian.
Dengan bertambahnya tanggung jawab
sekolah timbulah berbagai macam definisi kurikulum, sehingga semakin sukar
memastikan apakah sebenarnya kurikulum itu. Akhirnya setiap pendidikan,
setiap guru harus menentukan sendiri apakah kurikulum itu bagi dirinya.
Pengertian yang dianut oleh seseorang akan mempengaruhi kegiatan belajar
mengajar dalam kelas maupun diluar kelas.
Dibawah ini beberapa kurikulum
menurut beberapa para ahli kurikulum.
1.
J. Galen Taylor dan William M. Alexander, dalam buku
curriculum planning for better teaching and learning (1956). Menjelaskan arti
kurikulum sebagai berikut “segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar, apakah
dalam ruang kelas, di halaman sekolah atau diluar sekolah termasuk kurikulum.
2.
Harold B. Albertycs. Dalam reorganizing the high
school curriculum (1965). Memandang kurikulum sebagai “all school”. Seperti
halnya dengan definisi saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata
pelajaran akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan diluar
kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah.
3.
Othanel Smith, w.o. Stanley, dan J. Harjan Shores.
Memandang kurikulum sebagai “a sequence of potential experience set up in the
school for the purpose of diseliping ehildren and youth in group ways of
thinking and acthing”. Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman
yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka
dapat berfikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4.
William B Ragan, dalam buku modern elementary
curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut: Ragan menggunakan
kurikulum dalam arti luas, yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam
sekolah, yakni segala pengalaman anak dibawah tanggung jawab sekolah.
Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh
kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan social antara guru dan murid, metode
pembelajaran, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5.
J. Lloyd Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya
secondary school improfement (1973). Juga menganut definisi kurikulum yang
luas, menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar,
cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar,
bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan hal-hal structural
mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
6.
Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai
kurikulum. Dalam bukunya changing the curriculum : a social process (1946) ia
mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah,
keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani
sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik, dan personalia. Definisi
Miel tentang kurikulum sangat luas yang mencakup yang meliputi bukan
hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita
serta norma-norma melainkan juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh
pegawai sekolah.
7.
Edward A, Krug dalam secondary school curriculum
(1960) menunjukan pendirian yang terbatas tapi realities tentang kurikulum,
kurikulum dilihatnya sebagai cita-cita dan usaha untuk mencapai tujuan
persekolahan. Ia membedakan tugas sekolah mengenai perkembangan anak dan
tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama,
masyarakat, dan lain-lainnya.
B.
Kurikulum sebagai Suatu Sistem
Beberapa
pandangan ahli mengenai Sistem :
Menurut Ludwig
Von Bartalanfy, “Sistem merupakan seperangkat unsur yang saling terikat dalam
satu kesatuan dan diantara unsur-unsur tersebut ada relasi dengan lingkungan.”
Menurut Anatol
Raporot, “Sistem adalah suatu kumpulan kesatuan dan perangkat hubungan satu
sama lain.”
Menurut L.
Ackof, “Sistem adalah setiap kesatuan secara konseptual atau fisik yang terdiri
dari bagian-bagian, dalam keadaan saling tergantung satu sama lainnya”.
Dari ketiga
pendapat di atas, maka sistem dapat diartikan dengan konsep dasar yang lebih
luas, yaitu; suatu jaringan kerja yang terdiri dari sejumlah komponen-komponen
yang saling berinteraksi, bekerjasama membentuk satu kesatuan.
Komponen-komponen dari sistem itu dapat berupa suatu subsistem atau
bagian-bagian dari sistem. Setiap subsistem mempunyai sifat-sifat dari sistem
untuk menjalankan suatu fungsi tertentu dan mempengaruhi proses sistem secara
keseluruhan. Suatu sistem dapat mempunyai suatu sistem yang lebih besar yang
disebut dengan supra sistem. Misalnya, kurikulum disebut dengan suatu sistem,
sedangkan pendidikan merupakan sistem yang lebih besar, maka pendidikan disebut
dengan supra sistem dan kurikulum disebut sebagai subsistemnya. Demikian juga
bila kurikulum dipandang sebagai suatu sistem, maka komponen-komponen yang ada
di dalamnya seperti tujuan, materi, metode, dan evaluasi semuanya adalah
subsistemnya.
Komponen-komponen tersebut saling berkaitan dan menunjang antar satu dengan
yang lain untuk mencapai tujuan dari kurikulum. Dengan demikian, kurikulum
disebut sebagai system, dan sekaligus sebagai subsistem dari pendidikan, yang
mempunyai peran untuk mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri.
C.
Komponen Kurikulum
Kurikulum
memiliki empat komponen utama, yaitu: tujuan, materi, strategi/metode
pembelajaran, dan evaluasi (dalam versi lain ada lima; tujuan, materi, sumber
belajar, dan evaluasi ). Keempat komponen tersebut memiliki keterkaitan yang
erat dan tidak bisa dipisahkan antar satu dengan yang lain. Adanya keterkaitan
itulah yang disebut dengan suatu sistem dalam kurikulum. Untuk lebih jelasnya,
di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
1.
Tujuan
Dalam
perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara
jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
bahwa: ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan
pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, dijabarkan
ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari
setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
2.
Materi Pembelajaran
Berkenaan
dengan penentuan materi pembelajaran, pendidik memiliki wewenang penuh untuk
menentukan materi pembelajaran, sebagaimana yang telah diterapkan dalam
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yaitu kesesuaian standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam
prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu memperhatikan hal-hal
berikut:
a)
Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah
teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan
merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan
kontribusi untuk pemahaman ke depan.
b)
Tingkat
kepentingan; materi yang dipilih benar-benar
diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk
dipelajari.
c)
Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non
akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih
lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan
sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
d)
Layak
dipelajari; materi memungkinkan untuk
dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak
terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan
kondisi setempat.
e)
Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta
didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga
memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.
3.
Strategi pembelajaran
Perbedaan
filsafat dan teori pendidikan yang melandasi pengembangan kurikulum dalam
menentukan tujuan dan materi pembelajaran, berkonsekuensi terhadap penentuan
strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi tujuan
dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual, sebagaimana yang
banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan
budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang
dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di
dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan
pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara
pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode pembelajaran seperti ini
cenderung lebih bersifat tekstual.
Sedangkan
menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses
pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif
menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya,
sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh
materi dan mencapai tujuan belajarnya.
4.
Evaluasi Kurikulum
Evaluasi
merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi
kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan
pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan.
Sedangkan dalam
pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa
kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator
kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga
relevansi, efisiensi, kelayakan (feasibility) program.
Keempat
komponen kurikulum di atas harus ada kesesuaian antar satu dengan yang lain.
Isi sesuai dengan tujuan, metode sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga
evaluasi sesuai dengan metode, isi, dan tujuan kurikulum.
Berbagai tafsiran tentang kurikulum
dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai
bertikut:
1) Kurikulum
dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembangan
kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
2) Kurikulum
yang pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah
untuk mencapai tujuannya.
3) Kurikulum
dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa,
yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
4)
Kurikulum
sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan
kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara actual menjadi
kenyataan pada setial siswa.
D.
Sebab-sebab Kurikulum Diubah
Kurikulum itu selalu
dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam faktor-faktor
yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara fundamental, bila
suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi negara yang merdeka.
Dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami perubahan dan pengembangan
baru.
Kurikulum di ubah jika
tekanan dalam tujuan mengalami pergeserean. Misalnya pada tahun 30-an sebagai
pengaruh golongan progresif di USA, tekanan kurikulum di berlakukan pada anak,
sehingga kurikulum mengarah pada child-centered
curriculum sebagai reaksi terhadap subject-centered
curriculum. Tampaknya seakan-akan manusia kembali pada titik tolak semula.
Akan tetapi lebih tepat, bila kita katakan bahwa perkembangan kurikulum seperti
spiral, jadi kita tidak kembali
kepada yang lama, tetapi berada pada suatu titik di atas yang lama, artinya
perkembangan kurikulum di lakukan guna menambah kualitas kurikulum yang lama
dengan yang baru.Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat
pendirian baru mengenai proses belajar, sehingga
timbuk bentuk-bentuk kurikulum seperti activity atau experience curriculum
(kurikulum pengalaman yang pernah dialami), programmed instruction (perintah
pemrograman), pengajaran modul, dan sebagainya.
Perubahan dalam
masyarakat, eksplosi ilmu pengetahuan, dan sebagainya mengharuskan adanya
perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan kurikulum yang berlaku
tidak lagi relevan (tidak saling berkaitan), dan ancaman serupa ini akan
senantiasa di hadapi oleh setiap kurikulum.
Maka
karena itu, perubahan kurikulum merupakan hal biasa. Apabila mempertahankan
kurikulum yang ada akan merugikan peserta didik dan dengan demikian fungsi
kurikulum itu sendiri.
E.
Jenis-Jenis Perubahan
Menurut Soetopodan Soemanto, perubahan kurikulum dapat bersifat
sebagian-sebagian tetapi dapat pula bersifat menyeluruh.
1. Perubahan
sebagian
Perubahan yang terjadi hanya pada
komponen (unsur) tertentu saja dari kurikulum kita sebut perubahan yan g
sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja, peerubahan dalam
aturan saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, dapat disebut
perubahan sebagian-sebagaian. Dalam perubahan sebagian-sebagian ini dapat
terjadi bahwa perubahan yang berlangsung pada komponen tertentu sama sekali
tidak berpengaruh terhadap komponen yang lain. Sebagian contoh, penambahan satu
atau lebih bidang studi ke dalam suatu kurikulum dapat saja terjadi tanpa
membawa perubahan dalam cara (metode) mengajar atau sistem penilaian dalam
kurikulum tersebut.
2. Perubahan
menyeluruh
Disamping
secara sebagian-sebagian, perubahan suatu kurikulum dapat saja terjadi secara
menyeluruh. Artinya keseluruhan sistem kurikulum tersebut mengalami perubahan
dimana tergambar baik dalam tujuannya, isinya organisasi dan strategi dan
pelaksanaannya. Perubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih
merupakan perubahan kurikulum secara menyeluruh. Demikian pula kegiatan
pengembangan kurikulum sekolah pembangunan mencerminkan pula usaha perubahan
kurikulum yang bersifat menyeluruh. Kurikulum 1975 dan 1976 misalnya,
pengembangan, tujuan, isi, organisasi dan strategi pelaksanaan yang baru dan
dalam banyak hal berbeda dari kurikulum sebelumnya.
F.
Perubahan dan Perbaikan Kurikulum
Perbaikan
kurikulum biasanya hanya mengenai satu atau beberapa aspek dari kurikulum,
misalnya metode mengajar, alat peraga, buku pelajaran dengan tetap menggunakan
kurikulum yang berlaku.
Perubahan
kurikulum mengenai perubahan dasar-dasarnya, baik mengenai tujuan maupun
alat-alat atau cara-cara untuk mencapai tujuan itu. Mengubah kurikulum sama
halnya mengubah manusia atau personal pendidikan seperti guru, guru BK, pembina
pendidikan dan mereka-mereka yang mengasuh pendidikan. Oleh sebab itu perubahan
kurikulum dianggap sebagai perubahan sosial (social change). Perubahan
kurikulum dapat pula di katakan pembaruan atau inovasi kurikulum, di maksudkan
untuk mencapai perbaikan sekalipun perubahan tersebut tidak dengan sendirinya
membawa perbaikan. Perbaikan yang diperoleh mungkin membawa hasil sampingan
yang kurang baik menurut penilaian pihak tertentu.
G.
Penilaian Kurikulum
Sebelum
mengubah kurikulum hendaknya diadakan penilaian tentang kurikulum yang sedang
dijalankan. Penilaian juga perlu untuk mengetahui hingga sampai manakah
kurikulum mencapai tujuan-tujuan yang di harapkan seperti yang tercantum dalam
kurikulum itu.
Penilaian
kurikulum tidak mudah, baik tidaknya suatu kurikulum pada hakekatnya dapat
dinilai dari hasilnya, yakni dari kedudukan, kehidupan, atau prestasi pada
lulusnya. Bila lulusannya menduduki tempat yang penting itu mendapat nama baik
dan kurikulumnya di anggap efektif. Biasanya yang diandalkan adalah mereka yang
menonjol prestasinya, sedangkan mereka yang tidak menonjol dan
mereka yang tidak menduduki tempat
dalam masyarakat bahkan yang gagal tidak mendapat perhatian. Penilaian tersebut
terkesan kasar dan tidak didasarkan pada penelitian yang sistematis. Dan kita
dapat bertanya, apakah masalah tersebut dapat di selidiki sepenuhnya karena
banyaknya faktor lain dari luar mata pelajaran yang turut mempengaruhi
perkembangan pribadi seseorang.
Jika
kita menilai kurikulum, kita harus menilai komponen-komponennya yaitu :
1. Tujuan
kurikulum
2. Pengalaman-pengalaman
belajar untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik
3. Organisasi
pengalaman belajar itu, urutan pengalaman itu, hubungannya dengan pengalaman
lain
4. Cara-cara
mengevaluasi hasil belajar peserta didik.
Jadi penilaian
kurikulum harus dimulai dengan hakikat dan tujuan kurikulum. Kurikulum adalah
alat untuk mengubah perilaku peserta didik. Efektivitas kurikulum berwujud
dalam perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan peserta didik. Tentu saja,
tanpa pendidikan formal setiap peserta didik akan menjalani kedewasaan pada
waktunya. Akan tetapi, tanpa pendidikan formal perubahan-perubahan tertentu
tidak akan terjadi.
Kurikulum sekolah
bukanlah satu-satunya alat untuk mengubah perilaku manusia khususnya peserta
didik, dengan adanya kurikulum juga kita belum dapat meramalkan, apakah akan
tercapainya tujuan yang di tentukan dengan kegiatan belajar-mengajar.
Untuk menilai suatu
kurikulum perlu tujuan yang jelas. Ada yang menginginkan tujuan itu spesifik,
dalam bentuk perilaku yang dapat dilihat dan di ukur. Bloom memperikan suatu
pondasi tentang cara melakukannya. Dengan rumusan tujuan yang spesifik,
penilaian dapat dilakukan dengan lebih cermat. Namun apakah dengan taksonomi
Bloom itu dapat misalnya dihasilkan manusia Pancasila yang sejati, masih dapat
di ragukan. Demikian pula dengan diragukannya hasil semua mata pelajaran,
apakah dapat mencapai tujuan seperti yang dirumuskan dalam kurikulum itu.
Apakah dengan pelajaran IPS atau PKN dapat membentuk masyarakat yang taat
kepada undang-undang dan peraturan negara serta mengabdi kepada kepentingan
masyarakat lainnya? Apakah matematika menghasilkan manusia yang lebih sanggup
berpikir logis sistematis? Apakah pelajaran agama dapat membentuk manusia yang
lebih taat kepada Tuhan, dan sebagainya? Sanggupkah kurikulum mencapai
tujuan-tujuan itu hanya impian yang tak dapat di wujudkan? Penelitian di
havighurts menemukan, nilai-nilai atau norma-norma seseorang di hasilkan dari
keluarga. Maka kita dapat bertanya apakah pelajaran IPS atau PKN sanggup
memupuk norma-norma yang berkenaan dengan toleransi, perdamaian dunia dan
sebagainya.
Banyak
kesulitan yang dihadapi untuk menilai suatu kurikulum secara ilmiah. Alat-alat
untuk menilainya pun tak tersedia. Maka seiring suatu kurikulum diubah, bukan
berdasarkan penilaian atas hasil kurikulum itu, akan tetapi atas pengaruh hal
lain. Suatu kurikulum sudah diubah sebelum dinilai hasilnya. Kurikulum baru
biasanya dimasukan seiring mengkritik kurikulum yang lama, seakan-akan
kurikulum lama itu tidak mengandung kebaikan-kebaikan yang dengan sendirinya
akan turut terbuang. Maka sebaiknya setiap perubahan kurikulum juga merupakan
perbaikan dan perkembangan kurikulum secara menyeluruh.
H.
Kesulitan-kesulitan dalam Perubahan
Kurikulum
Sejarah
menunjukan menunjukan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaharuan. Ide
yang bbaru mengenai pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum
dipraktikan secara umum di dunia pendidikan.
Guru-guru
lebih gemar mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin di sebabkan karena
cara itulah yang mudah untuk di lakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan
pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih
banyak daripada yang diperlukan, akan tetapi ada kalanya bahwa tenaga pendidik
tidak mendapatkan wewenang untuk mengadakan perubahan karena
peraturan-peraturan administratif. Guru itu hanya diharapkan mengikuti intruksi
atasan.
Pembaharuan
kurikulum terkadang terikat pada tokoh pencetusnya, dengan meninggalnya tokoh
itu akan lenyap pula pembaharuan yang telah dimulainya. Dalam pembaharuan kurikulum
lebih mudah mencetuskan ide-ide baru daripada menerapkannya dalam praktik, dan
sekalipun telah melakukan percobaan masih banyak mengalami rintangan dalam
penyebarluasannya, oleh sebab itu, harus melibatkan pihak-pihak yang terkait
dalam perubahan struktur organisasi dan administrasi sistem pendidikan.
Perubahan kurikulum sering pula memerlukan biaya yang lebih banyak untuk
fasilitas dan alat-alat pendidikan baru yang tidak selalu dapat di penuhi.
Tak
jarang pula pembaharuan di tentang oleh mereka yang tidak percaya akan
kurikulum baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap
pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan
hanya sekedar mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam jangka
waktu yang tidak lama.
I.
Prosedur Pembaharuan Kurikulum
Pada
awalnya ada dua prosedur utama untuk mengubah kurikulum yaitu administrative approach dan grassroots approach
1.
Model admistratif(Smith, Stanley, Shores)
pengembangan kurikulum menggunakan prosedur atas- bawah, lini staf
(Topdown, line-staff procedure). Inisiatif pengembangan kurikulum dimulai dari
pejabat tingkat atas (Superintendent). Pejabat tersebut membuat keputusan
tentang kebutuhan suatu program pengembangan kurikulum dan implementasinya,
lalu mengadakan pertemuan dengan staf lini (bawahannya) dan meminta dukungan dari dewan pendidikan (Board of education).
Langkah berikutnya adalah membentuk suatu panitia pengarah yang
terdiri dari pejabat administratif tingkat atas, seperti asisten
superintendent, principals, supervisor, dan guru-guru inti.
Panitia pengarah merumuskan rencana umum, mengembangkan panduan kerja,
dan menyiapkan rumusan filsafat dan tujuan bagi seluruh sekolah didaerahnya
(District).Disamping itu, panitia pengarah dapat mengikutsertakan organisasi
diluar sekolah / tokoh masyarakat sebagai panitia penasehat yang bekerja
bersama dengan personel sekolah dalam rangka merumuskan berbagai rencana,
petunjuk dan tujuan yang hendak dicapai.
Setelah kebijakkan kurikulum dikembangkan, maka panitia pengarah memilih
dan menugaskan staf pengajar sebagai panitia pelaksana (panitia kerja) yang
bertanggung jawab mengkonstruksikan kurikulum. Panitia ini merumuskan tujuan
umum dan tujuan khusus kurikulum, isi (materi), kegiatan-kegiatan belajar dan
sebagainya sesuai dengan pedoman / acuan kebijakan yang telah ditentukan oleh
panitia pengarah. Panitia mengerjakan tugasnya diluar jam kerja biasa dan tidak
mendapat kompensasi. Kondisi ini diterapkan karena berkaitan dengan tanggung jawab guru untuk memahami dengan benar kurikulum
dan meningkatkan mutu kurikulum itu sendiri.
Setelah panitia kerja (guru-guru) melaksanakan penyusunan
kurikulum melalui proses tertentu, selanjutnya kurikulum yang dihasilkan
tersebut direvisi oleh panitia pengarah atau panitia tingkat atas lainnya
sesuai dengan maksud diadakannya review tersebut. Panitia ini melaksanakan
berbagai fungsi-fungsi, sebagai berikut:
a)
Memberi koherensi
pada ruang lingkup dan urutan dalam program bidang studi dengan koordinasi
bersama panitia guru-guru masing-masing bidang;
b)
Memeriksa
kesesuaiannya dengan kebijakan kurikulum yang telah ditetapkan oleh panitia
pengarah;
c)
Menyiapkan gaya dan
bentuk susuan material yang siap untuk dipublikasikan
Rencana kurikulum yang sudah
direvisi dan final tersebut selanjutnya ditugaskan kepada suatu panitia yang
terdiri dari para admimstrator (principals) dan guru-guru untuk melaksanakannya
dalam rangka uji coba. Para pelaksana adalah tenaga profesional yang tidak
dilibatkan dalam penyusunan kurikulum (mencakup filsafat rasional, tujuan dan
metodologinya) uji coba dilaksanakan dalam kondisi pengajaran senyatanya dan
keefektifannya dimonitor dengan cara kunjungan kelas, diskusi, evaluasi siswa
dan alat-alat lainnya. Berdasarkan hasil uji coba dilakukan modifikasi, dan
selanjutnya kurikulum baru tersebut diresmikan pelaksanaanya secara nyata dalam
sistem sekolah. Kelemahan pada model ini terdapat pada tiga hal, yaitu:
a)
Pada prinsipnya
pengembangan kurikulum dengan model ini bersifat tidak demokratis, karena
prakarsa, inisiatif dan arahan dilakukan melalui garis staf hirarkis dari atas
ke bawah, bukan berdasarkan kebutuhan dan aspirasi dari bawah ke atas;
b)
Pengalaman
menunjukkan bahwa model ini bukan alat yang efektif dalam perubahan kurikulum secara signifikan, karena
perubahan kurikulum tidak mengacu pada perubahan masyarakat, melainkan
semata-mata melalui manipulasi organisasi dengan pembentukkan macam-macam
kepanitian.
c)
Kelemahan utama
dari model administratif adalah diterapkannya konsep dua fase, yakni konsep
yang mengubah kurikulum lama menjadi kurikulum baru secara uniform melalui
sistem sekolah dalam dua fase sendiri-sendiri, yakni penyiapan dokumen
kurikulum baru, dan fase pelaksanaan dokumen kurikulum tersebut
2.
Model Grass Roots(Smith, Stanley, Shores)
atau arus bawah, berbeda dengan rekayasa
model administratif dalam beberapa hal yang berarti. Misalnya model Grass Roots
diawali oleh para guru, pembina disekolah dengan mengabaikan metoda pembuatan
keputusan kelompok secara demokratis dan dimulai dari bagian-bagian yang lemah
(rusak) kemudian diarahkan untuk memperbaiki kurikulum tertentu (spesifik) atau
kelas-kelas tertentu.
Orientasi yang demokratis dari
rekayasa Model Grass Roots bertanggung jawab
membangkitkan apa yang menjadi dua aksioma kemantapan sebuah kurikulum:
a.
Bahwa sebuah
kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila guru-guru dilibatkan
secara intim dengan proses pembuatan (konstruksi) dan pengembangannya
b.
Bukan hanya para
professional, tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan
dalam proses pengembangan kurikulum.
Masalah validitas
kedua klaim tersebut tidaklah perlu, yang diperlukan adalah definisi yang lebih
tepat mengenai peran administrator, guru, ahli kurikulum dan non profesional
dalam memerankan perannya di dalam rekayasa kurikulum. Prinsip-prinsip model
grass roots memiliki 4 prinsip yaitu :
Guru adalah sebagai
kunci dalam rekayasa kurikulum yang efektif, digambarkan pada (4) prinsip yang
menjadi dasar Model Grass Roots, yaitu :
a.
Kurikulum akan baik
apabila kemampuan profesioanl guru baik
b.
Kompetensi guru akan
membaik apabila guru terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah peibaikan
(revisi) kurikulum
c.
Jika guru urun
rembug dalam membentuk tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam memilih,
mendefinisikan, memecahkan masalah yang akan dihadapi, mempertimbangkan dan
menilai hasil maka keterlibataimya paling terjamin.
d.
Karena orang bertemu
dalam kelompok, tatap muka, mereka akan dapat memahami satu sama lain lebih
baik dan untuk mencapai suatu konsensus berdasarkan prinsip-prinsip dasar,
tujuan-tujuan dan rencana- rencana.
Prinsip ini jadi
bersifat operasional, karena guru didorong untuk bekerja secara kooperatif
dalam merencanakan kurikulum baru. Dorongan terjadi bila administrator
menyediakan kepemimpinan, waktu bebas, material dan rangsangan lain yang
bersifat kondusif terhadap perencanaan kurikulum. Pada beberapa daerah
lokakarya diorganisasi untuk melaksanakan proses, pada akhir tahun cenderung
terfokus pada review kurikulum dan penilaian kebutuhan, sedangkan pada awal
tahun baru mereka dapat berhasil mengkonstruksi kurikulum baru. Idealnya
lokakarya itu mencakup para administrator, para guru, siswa, orang tua dan
anggota masyarakat (tokoh) ditambah dengan konsultan dan personal sumber
khusus. Para peserta bekerja atas dasar masalah-masalah tersebut secara
demokratis mencapai konsensus. Disini jelas sekali, karena guru-guru terlibat
secara mendalam / inti dalam perencanaan dan proses pembuatan keputusan,
pengetahuan dan kesepakatan mereka merupakan suatu kebutuhan bagi prosedur
implementasi khusus yang dinyatakan oleh model administratif.
Perlu diingat disini
para guru terlibat dengan intim pada perencanaan dan pembuatan keputusan, pengetahuan,
dan komitmennya dijadikan awal yang baik untuk memenuhi kebutuhan prosedur
penerapan tertentu.
Kelemahan rekayasa kurikulum model Grass Roots ini adalah
model ini menerapkan metoda partisipasi yang demokratis dalam proses yang
khusus, bersifat teknis yang kompleks. Ini tidak berarti bahwa keputusan
masyarakat umumnya tidak perlu diperhatikan atau para guru tidak boleh diberi
peran dalam rekayasa kurikulum. Ini hanya untuk menyatakan bahwa peran dasar
pemikiran satu orang satu suara tidak atau belum tentu menghasilkan sesuatu
yang terbaik dalam suatu situasi, otoritas tertentu amat diperlukan. Namun
perlu diingat pula bahwa model Grass Roots ini lebih memberikan kontribusi awal
dalam memperkuat landasan pembuatan keputusan kurikulum dan dalam hal itu model
ini bertanggungjawab terhadap keinginan-keinginan masyarakat.
J.
Cara Praktis Untuk Mengadakan Pembaruan Kurikulum
1.
Pilot
Project
Dalam rangka suatu pilot project seorang guru dapat mengadakan perc obaan
dengan suatu kurikulum baru dalam suatu bidang studi tertentu. Karena percobaan
itu terbatas, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaiannya relatif mudah
diatur. Adaikan pilot project ini
berhasil, masih banyak kesukaran untuk menyebarluaskannnya, karena menghadapi
situasi yang berbeda dan mendapat hambatan dari ktentuan-ketentuan yang
berlaku.
2.
Membina
Kader
Dapat dididik sejumlah kader yang menguasai seluk beluk pembaharuan
kurikulum yang ditempatkan di berbagai sekolah untuk mengadakan
pembaharuan-pembaharuan. Kader inni merupakan agen-agen pembaharuan,
pemimpin-pemimpin yang kompeten dan mereka dapat memberia hasil yang baik.
Kelemahannya ialah bahwa ada kemungkinan mereka dianggap sebagai orang luar
yang diberi bayaran khusus untuk mengadakan, bahkan memaksakan perubahan tanpa
meminta keinginan guru-guru di sekolah itu. Jika timbul reaksi yang negatif
dari pihak guru, maka kader ini akan mengalami banyak kesukaran.
3.
Memanfaatkan
Guru
Guru dari sekolah yang telah menjalankan kurikuum baru, dapat diminta
bekerja pada sekolah yang belum melakukannya, sehingga dapat
disaksikanbagaimana pelaksanaan pembaharuan itu.
Pelaksanaan ini akan menghadapi kesuitan administratif dalam penempatan
guru di sekolah lain untuk beberapa waktu. Sekolah yang terpencil akan
mengalami kesukaran khusus dalam hal ini.
4.
Menyediakan
Alat Pengajaran
Memberikan laboratorium fisika atau laboratorium bahasa akan mendorong guru
untuk menggunakan metode-metode dan bahan pelajaran baru. Akan tetapi ada
kalanya tenaga pengajar tidak sanggup memanfaatkannya.
5.
Memperbaharui
Buku Pelajaran
Buku pelajaran memegang peranan penting dalam setiap kurikulum, juga dalam
melancarkan kurikulum yang baru. Buku pelajaran harus dapat memberikan bahan
baru dan juga metode mengajar serta proses belajar yang baru. Akan tetapi
guru-guru sendiri harus mempunyai kesanggupan untuk menggunakannya
6.
Kerjasama
Antar Sekolah Dan Universitas
Universitas yang senantiasa berada
di garis depan kemajuan dalam bidang penelitian dan ilmu pengetahuan dapat
membantu sekolah-sekolah untuk menyesuaikan kurikulum dengan ide-ide baru
tentang pendidikan dan perkembangan baru dalam berbagai ilmu pengetahuan. Dapat
diusahakan secara teratur pertemuan-pertemuan antara dosen perguruan tinggi
dengan guru-guru bidang studi di SM untuk keperluan itu.
Universitas dapat pula menyediakan ahli dalam berbagai aspek kurikulum yang
bertindak sebagai konsultan, sedangkan sekolah atau guru dapat memberikan bahan
tentang keadaan yang riil mengenai murid, dan sekolah, sehingga kurikulum tidak
merupakan hasil “di belakang meja tulis”.
7.
Pembaharuan Kurikulum Pendidikan Guru
Kurikulum pendidikan guru tak dapat tiada harus disesuaikan dengan
perubahan kurikulum dari SD-SM, bahkan sebenarnya harus mendahuluinya.
Pendidikan guru dalam pembaharuan akan lebih efektif daripada penataran. Guru
yang sejak mulanya terdidik dalam pelaksanaan kurikulum baru akan lebih
menjamin keberhasilan pembaharuan itu. Namun penataran akan tetap diperlukan,
karena pada suatu ketika setiap kurikulu
akan memerlukan pembaharuan.
8.
Mendemonstrasikan
Suatu Pembaruan
Suatu kelompok kecil, dengan persetujuan kepala sekolah, mengadakan
pembaharuan satu mata pelajaran atau lebih dalam satu dua kelas. Mereka
mencobakan suatu unit pelajaran dan setelah ternyata berhasil
mendemostrasikannya kepada guru-guru lain. Harapan ialah agar pembaharua itu
diterima baik dan disebarluaskan. Kelompok kecil itu dapat memperoleh bantuan
dari kepala sekolah atau atasan. Namun, sering timbul tentangan dari guru-guru
yang tidak terlibat dalam usaha ini.
9.
Memulai Dari
Satpel/Satuan Pelajaran
Hilda Taba menganjurkan agar pembaharuan dimulai dengan satuan pelajaran
yang dapat diterapkan dalam kelas. Pada permulaan ini merupakan percobaan.
Umpan balik digunakan untuk menyempurnakan satua pelajaran itu.
Perubahan tidak mungkin dilakukan dalam seluruh program sekolah, jadi harus
mulai dengan bagian yang kecil dan terbatas. Dari satuan pelajaran yang
eksperimenal ini kemudian dikembagkan suatu keragka yang lebih luas,
berdasarkan prinsip-prinsip, dasar-dasar teoritis, cara menentukan bahan,
mengevaluasi, dan sebagainya.
Pelaksanaan satuan pelajaran merupakan pelajaran dan latihan bagi guru.
Lamanya latihan itu bergantung pada besarnya perbedaan antara cara lama dan
baru. Perubahan kurikulum mengaharuskan guru berubah pula. Demikian pula harus
dikembagkan administrasi yag sesuai dengan perubahan kurikulum itu.
Perubahan kurikulum yang berarti mengubah guru, cara
belajar murid, administrasi sekolah, sikap orang tua, dan sebagainya memakan
waktu yang lama, sering bertahun-tahun.
K.
Pola Kurikulum
Dalam perubahan kurikulum, demikian
pula dalam pembinaan setiap kurikulum, kita hendaknya bekerja dalam suatu
kerangka atau pola yang terdiri atas komponen-komponen kurikulum itu. Suatu
pola yang sederhana adalah sebagai berikut :
Setiap kurikulum memiliki keempat
kompnen utama yaitu : (1) tujuan, (2) kegiatan atau pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan itu, (3) pengetahuan yaitu isi atau bahan pelajaran yang
diperoleh dan di gunakan dalam proses belajar, (4) penilaian atau evaluasi
hasil belajar, untuk mengetahui hingga mana tujuan tersebut tercapai.Keempat komponen
itu saling berhubungan.
![]() |
L.
Enam Fase Perubahan Kurikulum
Menurut Lippit, ahli psikologi
sosial yang terkemuka, ada enam fase perubahan kurikulum, yaitu :
1. Penggunaan
sumber-sumber (resources) baru.
Pertimbangannya
adalah faktor dukungan internal dan eksternal pada siswa. Contohnya dukungan
internal, siswa harus menerima kesempatan pembelajaran yang relevan dengan
dunia mereka, nilai, ketertarikan, dan rasa ingin tahu mereka. Mereka harus
mendapat umpan balik dari respon mereka. Mereka harus belajar bagaimana cara
belajar dan menyenangi pencarian (penelitiannya) dan pengakhirannya.
Pengembangan kurikulum juga harus memperhitungkan peran teman sebaya sebagai
faktor ekternal siswa.
2. Prestasi
sumber-sumber baru
Penyusunan
kurikulum seharusnya melibatkan guru dalam mengkaji ulang, mengevaluasi, dan
mengeksplorasi ulang relevansi materi baru. Guru juga seharusnya di beri
kebebasan untuk mengeksplorasi kecakapan baru yang di perlukan untuk
mempelajari konsep dan teknik baru dan berkolaborasi dengan perguruan tinggi
baik dalam latihan maupun belajar bersama. Kurikulum yang baru juga harus melengkapi guru dengan alat
untuk mendiagnosa respon kelas mereka dan untuk melibatkan siswa dalam
mengadaptasi kurikulum dan menciptakan prosedur-prosedur baru.
3. Adopsi
sumber-sumber baru
Keputusan
adopsi oleh komite kurikulum sebaiknya melibatkan pengambilan keputusan yang
tepat dalam mengkaji ulang alternatif-alternatif yang ad. Harus ada kajian
terhadap kriteria yang digunakan dalam pembuatn keputusan dan rencana
alternatif-alternatif, mempertimbangkan kemungkinan yang akan terjadi dan
mempelajari respon pelajar terhadap metode yang digunakan. Pembelajar sebaiknya
dilibatkan dalam evaluasi materi baru.
4. Penyelidikan
sumber-sumber baru
Dalam
enelitian untuk mendapatkan gagasan-gagasan baru, perencana kurikulum sebaiknya
memulainya dari “rumah”. Mereka sebaiknya menghargai kurikulum-kurikulum
kreatif yang “tersembunyi” di daerahnya. Perencana sebaiknya juga
mempertimbangkan neighboring school system (sistem yang ada dilingkungan
sekitar sekolah). Mereka sebaiknya menyelesaikan masalah dengan sharing dengan lingkungannya. Penyusun
kurikulum juga melihat sumber-sumber alam yang ada.
5. Distribusi
sumber-sumber baru
Difusi kurikulum juga bergantung pada tersediannya
sumber-sumber belajar bagi guru. Guru harus memiliki kesempatan untuk mencapai
kecakapan menggunakan kurikulum baru. Mereka juga seharusnya memiliki
kesempatan mencoba agar tertarik dan merasa bebas untuk mengadaptasi bahan.
6.
Pengembangan sumber-sumber baru
Materi baru bias dikembangkan oleh seluruh tim dalam
sekolah, ide seorang guru atau staf proyek penelitian dan pengembangan.
Pengembangan kurikulum memerlukan identifikasi tujuan yang di prioritaskan,
inti pengetahuan pengalaman yang terkait dengan isi, ketertarikan dan
kompetensi pembelajar. Guru seharusnya dibantu untuk memahami dan menggunakan
sumber-sumber dan mengevaluasi bahan dengan trampil sehingga kurikulum
mengalami peningkatan secara continue
M.
Peranan Sistem dalam Pengembangan Kurikulum
Salah satu model pengembangan
kurikulum adalah The systematic
action-research model.Model kurikulum
ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan
sosial. Hal ini mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua,
siswa guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari
sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada
tiga hal yaitu; hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta
wibawa dari guru profesional.
Kurikulum
dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh
masyarakat, pengusaha, siswa, guru, dan lain-lain. Mereka mempunyai pandangan
tentang bagaimana pendidikan, bagaimana anak belajar, dan bagaimana peranan
kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Penyusunan kurikulum harus
memasukkan pandangan dan harapan-harapan masyarakat. Inilah keterkaitan
pengembangan kurikulum dengan lingkungan, bahwa sisitem dalam lingkungan juga
berperan sangat penting dalam pengembangan kurikulum.
Oleh karena itu, keterkaiatan komponen-komponen yang ada, baik dalam
lingkungan masyarakat atau pun yang ada dalam kurikulum itu sendiri, merupakan
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan saling berhubungan, dan itulah
yang disebut dengan sistem. Dengan demikian, maka peranan sistem dalam
pengembangan kurikulum merupakan hal yang sangat penting adanya.
N.
Dampak Perubahan dan Pengembangan Kurikulum
Siswa yang
merasakan dampak adanya perubahan dan pengembangan kurikulum adalah mampu
mengembangkan pola pikir yang relatif kearah mandiri serta mampu mengembangkan
penalaran yang dewasa, siswa juga akan berkembang secara Iptek dan mampu
bersaing di dunia global.
Untuk tenaga
pendidik akan mampu memahami bagaimana lebih kreatif dalam memberikan materi,
mampu memanfaatkan media sebagai alat penyampaian materi, mampu
mengkolaborasikan antara teknologi dan materi, dan mampu memahami masalah yang
dihadapi oleh siswa.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kurikulum adalah perangkat mata
pelajaran yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang
berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam
satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini
disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam
penyelenggaraan pendidikan tersebut.
Kurikulum merupakan sarana
pencapaian tujuan, jika tujuan kurikuler berubah, maka kurikulum berubah pula. Perubahan
dimaksud mungkin mengenai materinya, orientasinya, pendekatannya, ataupun
metodenya. Sistem dapat diartikan dengan
konsep dasar yang lebih luas, yaitu; suatu jaringan kerja yang terdiri dari
sejumlah komponen-komponen yang saling berinteraksi, bekerjasama membentuk satu
kesatuan. Komponen-komponen dari sistem itu dapat berupa suatu subsistem atau
bagian-bagian dari sistem. Setiap subsistem mempunyai sifat-sifat dari sistem
untuk menjalankan suatu fungsi tertentu dan mempengaruhi proses sistem secara
keseluruhan. Kurikulum
memiliki empat komponen utama, yaitu: tujuan, materi, strategi/metode
pembelajaran, dan evaluasi (dalam versi lain ada lima; tujuan, materi, sumber
belajar, dan evaluasi ). Menurut kalangan
progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah
peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan
tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan
bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai
tujuan belajarnya.
Tujuan pendidikan dapat
berubah secara fundamental, bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah
menjadi negara yang merdeka. Dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami
perubahan dan pengembangan baru. Perubahan dalam masyarakat, eksplosi ilmu
pengetahuan, dan sebagainya mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Penilaian
kurikulum tidak mudah, baik tidaknya suatu kurikulum pada hakekatnya dapat
dinilai dari hasilnya, yakni dari kedudukan, kehidupan, atau prestasi pada lulusnya.
Bila lulusannya menduduki tempat yang penting itu mendapat nama baik dan
kurikulumnya di anggap efektif
B.
Saran
Kebutuhan pendidikan kini semakin kompleks, begitu pula dengan kenbutuhan
kurikulum yang ada juga semakin berkembang, maka disarankan agar tiap sekolah
atau lembag pendidikan menerapkan suatu sisten kurikulum yang sesuai dengan
keadaan lingkungan sekolahnya, dan masyrakat sekitar. Memahami sistem dalam
pengembanagn kurikulum sangatlah penting, oleh karenanya, masih butuh banyak
refrensi untuk kita kaji sebagai pelengkap pengetahuan kita dalam memahami
sistem kurikulum.
Daftar Pustaka
Syaodih
Sukmadinata, Nana. 2004. Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Nasution, S. 2008. Asas-Asas kurikulum. Jakarta: Bumi
Aksara.
Komentar
Posting Komentar